Oleh: Diva Puspita Aprilia
Mahasiswa Fakultas Hukum Unja
Perkembangan terbaru dalam hubungan Indonesia-China melalui joint statement yang ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping telah membuka diskusi serius di kalangan akademisi hukum.
Sebagai mahasiswa semester 3 Fakultas Hukum yang sedang mendalami Hukum Laut Internasional, saya melihat adanya pergeseran kebijakan yang perlu dikaji secara kritis.
Pengakuan adanya “klaim tumpang tindih” dalam joint statement tersebut menarik perhatian saya.
Hal ini mengingat pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia secara tegas menolak eksistensi tumpang tindih wilayah dengan China, terutama terkait nine-dash line di Laut China Selatan yang bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna.
Berdasarkan pembelajaran Hukum Laut Internasional, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 telah memberikan kerangka hukum yang jelas.
Indonesia memiliki hak berdaulat atas ZEE sejauh 200 mil laut dari garis pangkal. Dalam konteks ini, pengakuan adanya “klaim tumpang tindih” berpotensi melemahkan posisi Indonesia yang selama ini dibangun di atas fondasi UNCLOS 1982.
Melalui diskusi intensif di kelas bersama dosen, kami mengidentifikasi beberapa potensi kerugian dari perubahan kebijakan ini.
Pertama, pengakuan tumpang tindih dapat membuka celah hukum yang melemahkan kedaulatan Indonesia atas wilayah maritimnya.
Kedua, hal ini bisa berdampak pada akses dan aktivitas nelayan Indonesia di perairan sendiri. Ketiga, dapat menciptakan preseden yang kurang menguntungkan dalam penanganan sengketa wilayah di masa depan.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia seharusnya mempertahankan konsistensi dalam melindungi kedaulatan maritimnya.
Perubahan sikap dalam joint statement ini perlu dievaluasi kembali dengan mempertimbangkan:
1. Aspek hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982
2. Kepentingan nasional jangka panjang
3. Dampak terhadap nelayan dan masyarakat pesisir
4. Preseden untuk penanganan sengketa wilayah di masa depan
Meski hubungan bilateral dengan China penting bagi Indonesia, kompromi dalam hal kedaulatan wilayah bukanlah pilihan bijak.
Sebagai generasi muda yang peduli dengan masa depan maritim Indonesia, saya berharap pemerintah dapat meninjau kembali posisinya dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip UNCLOS 1982 yang telah memberi landasan kuat bagi kedaulatan maritim Indonesia.
Perairan Natuna adalah bagian tak terpisahkan dari ZEE Indonesia yang diakui secara internasional.
Mengakui adanya “klaim tumpang tindih” sama dengan membuka ruang negosiasi atas sesuatu yang seharusnya tidak perlu dinegosiasikan. Mari kita jaga kedaulatan maritim Indonesia demi generasi mendatang.