Oleh: Erwandi, S.STP
Mahasiswa Magister Hukum Unja
Belakangan ini, muncul wacana kontroversial dari kepala daerah Jawa Barat Dedi Mulyadi melalui saluran youtube yang memiliki pengikut lebih dari 7 (tujuh) juta follower tentang uapaya pengentaan kemiskinan dengan membatasi jumlah anak bagi keluarga pra sejahtera penerima bantuan sosial melalui kewajiban vasaktomi bagi keluarga yang memiliki lebih dari dua anak.
Wacana yang dilontarkan mengenai kemungkinan penerapan kewajiban pasaktomi (vasektomi) bagi warga miskin penerima bantuan sosial (bansos) masih bersifat wacana, Namun gagasan tersebut telah memicu perdebatan luas di ruang publik karena itu Penulis merasa tergelitik untuk memberikan opini mengenai wacana tersebut berdasarkan keilmuan yang penulis miliki ditinjau dari prinsip-prinsip konstitusional, hak asasi manusia (HAM), dan hukum.
Pasaktomi adalah prosedur medis permanen yang bertujuan untuk mencegah kehamilan dengan memutus saluran sperma pria. Secara medis, tindakan ini masuk dalam kategori kontrasepsi jangka panjang yang bersifat sukarela. Namun, ketika dijadikan syarat pemberian bantuan sosial, maka kebijakan ini menurut pendapat Penulis berpotensi mengandung unsur pemaksaan yang bertentangan dengan asas-asas dasar negara hukum dan prinsip perlindungan hak asasi manusia, antara lain :
- Perspektif Hukum Tata Negara dan Konstitusi
Secara konstitusional, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menjamin hak setiap warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Hal ini diatur dalam: a) Pasal 28B ayat (1): “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” dan b)Pasal 28G ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya…”
Menjadikan pasaktomi sebagai syarat mendapatkan bantuan sosial berarti menempatkan warga negara miskin dalam posisi pilihan yang tidak setara: antara kebutuhan dasar hidup dan hak tubuhnya. Ini bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi martabat manusia sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Lebih lanjut Pasal 34 ayat (1) menegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Artinya, negara berkewajiban memberikan perlindungan sosial tanpa diskriminasi dan tanpa syarat yang mengorbankan hak dasar warga negara.
- Perspektif Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada setiap individu sejak lahir dan tidak boleh dirampas oleh siapa pun, termasuk oleh negara. Dalam konteks ini, wacana pasaktomi wajib jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip utama HAM, terutama: a) Hak atas integritas tubuh (bodily autonomy): Hak ini menjamin bahwa setiap individu bebas menentukan keputusan atas tubuhnya, termasuk dalam hal kesehatan reproduksi. Pemaksaan pasaktomi, walaupun bersifat tidak langsung (melalui syarat bansos), merupakan bentuk pelanggaran hak ini. b) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan dalam: Pasal 49 ayat (2): “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” dan Pasal 3 dan 4: Menegaskan prinsip non-diskriminasi dan hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Penerapan kebijakan diskriminatif berdasarkan status sosial ekonomi (kemiskinan) merupakan pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan. Dalam hal ini, warga miskin menjadi sasaran pengendalian populasi yang tidak diberlakukan terhadap kelompok lain.
- Perspektif Hukum Kesehatan
Dalam hukum kesehatan, setiap tindakan medis, termasuk prosedur kontrasepsi seperti pasaktomi, wajib mendapatkan persetujuan yang diinformasikan (informed consent). Hal ini diatur secara tegas dalam: a) Pasal 56 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: “Setiap tindakan medis hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pasien.” dan b) Permenkes Nomor : 290/Menkes/ Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran: Mengatur bahwa persetujuan harus diberikan secara sukarela, tanpa tekanan atau paksaan.
Bila tindakan pasaktomi dijadikan syarat untuk menerima bantuan sosial, maka warga miskin berada dalam posisi terpaksa atau tidak benar-benar bebas dalam memberi persetujuan. Hal ini merupakan bentuk coercive consent yang secara prinsipil bertentangan dengan hukum kesehatan. Selain itu, pendekatan pemaksaan justru berisiko mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap program Keluarga Berencana (KB) nasional yang selama ini dibangun dengan pendekatan sukarela, edukatif, dan berbasis hak.
- Tinjauan Etika dan Keadilan Sosial
Wacana ini juga bermasalah dari sisi etika kebijakan publik. Keadilan sosial, sebagaimana menjadi sila kelima dalam Pancasila dan tercermin dalam konstitusi, mengharuskan perlakuan yang setara bagi semua warga negara. Menerapkan syarat pasaktomi hanya pada kelompok miskin menegaskan adanya stigmatisasi dan pembebanan tanggung jawab pengendalian penduduk hanya pada kelompok rentan.
Padahal, masalah kependudukan bukan hanya persoalan angka kelahiran, melainkan juga hasil dari kompleksitas struktural: akses pendidikan, lapangan kerja, urbanisasi, dan distribusi sumber daya. Memangkas masalah itu melalui cara simplistic seperti sterilisasi paksa tidak hanya tidak etis, tapi juga keliru arah secara kebijakan.
Penulis bisa memahami niat baik dari Kang Dedi Mulyadi melontarkan wacana tersebut dalam upaya mengurangi tingkat kemiskinan dan perlindungan kesejahteraan bagi anak-anak di Jawa Barat, namun sebagai negara hukum kewajiban pasaktomi bagi warga miskin penerima bantuan sosial di Jawa Barat merupakan kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum tata negara, hukum HAM, dan hukum kesehatan. Wacana ini tidak hanya melemahkan hak reproduksi dan integritas tubuh, tetapi juga menciptakan diskriminasi struktural terhadap kelompok masyarakat miskin.
Disisi lain, sebagai penganut muslim terbesar di Indonesia, selaras dengan pendapat Akademisi dan ulama K.H. Cholil Nafis bahwa “ Pasaktomi dalam Islam hukumnya haram karena menghilangkan fungsi reproduksi secara permanen dan bertentangan dengan tujuan menjaga keturunan, sedangkan yang diperbolehkan adalah mengatur jarak kelahiran”
Menurut penulis kebijakan ini melanggar prinsip keadilan, kebebasan, dan perlindungan hak-hak dasar dalam Islam apalagi hal ditujukan khusus kepada kelompok miskin, seharusnya negara menjalankan kebijakan pengendalian penduduk dengan pendekatan berbasis hak asasi, memperluas akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, dan memperkuat edukasi keluarga berencana yang partisipatif dan sukarela, bukan dengan cara koersif dan diskriminatif. Perlindungan terhadap hak warga miskin harus menjadi prioritas negara, bukan objek pembatasan hak yang terselubung.. Semoga !