Oleh: Diva Puspita Aprilia
Mahasiswi Fakultas Hukum Unja
Sebagai mahasiswa semester 3 Fakultas Hukum Universitas Jambi yang sedang mengambil mata kuliah Hukum Agraria, saya tertarik mengamati kasus sengketa tanah yang terjadi di provinsi tetangga, Sumatera Barat. Kasus ini menarik perhatian saya karena menunjukkan bagaimana hukum adat dan hukum modern sering berbenturan dalam masalah pertanahan.
Di mata kuliah Hukum Agraria, saya belajar bahwa tanah memiliki fungsi sosial yang sangat penting bagi masyarakat. Hal ini terlihat jelas dalam kasus sengketa antara masyarakat adat dengan PT Subur Mandiri di Kabupaten Solok. Perusahaan ini mendapatkan izin untuk mengelola tanah yang ternyata adalah tanah adat milik masyarakat setempat.
Yang membuat kasus ini menarik adalah bagaimana kedua belah pihak sama-sama merasa memiliki hak atas tanah tersebut. Perusahaan mengandalkan surat izin resmi dari pemerintah, sementara masyarakat adat berpegang pada hukum adat yang sudah berlaku turun-temurun.
Dari yang saya pelajari di kelas, UUPA sebenarnya mengakui keberadaan hukum adat. Namun dalam praktiknya, seperti yang terjadi dalam kasus ini, pengakuan tersebut sering diabaikan. Masyarakat adat yang sudah menempati tanah selama bertahun-tahun tiba-tiba harus menghadapi ancaman kehilangan tanahnya.
Menurut saya, ada beberapa masalah utama dalam kasus ini:
1. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat
2. Proses pemberian izin yang tidak melibatkan masyarakat setempat
3. Tidak adanya solusi yang menguntungkan kedua belah pihak
Dari pembelajaran di kelas Hukum Agraria, seharusnya ada beberapa solusi yang bisa diterapkan:
1. Melakukan musyawarah yang melibatkan semua pihak
2. Memberikan kompensasi yang adil kepada masyarakat
3. Membuat kesepakatan bagi hasil antara perusahaan dan masyarakat adat
Kasus ini mengajarkan kepada saya sebagai mahasiswa hukum bahwa dalam menyelesaikan sengketa tanah, kita tidak bisa hanya melihat dari satu sisi saja. Harus ada keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan hak-hak masyarakat adat.
Sebagai generasi muda yang sedang menempuh pendidikan hukum, saya berharap di masa depan akan ada mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih baik. Mungkin setelah lulus nanti, saya dan teman-teman mahasiswa hukum lainnya bisa berkontribusi untuk membuat sistem hukum agraria yang lebih adil dan melindungi semua pihak.